Saya tidak sedang jatuh cinta. Tidak sedang memendam rasa pada orang lain, dan juga tidak sedang dalam kondisi patah hati. Saya hanya sedang ingin bicara cinta. Cinta yang membuat salah satu sahabat saya bingung setengah mati menghadapi dilemanya. Cinta yang membuat seorang ibu mampu berbuat apa saja demi anaknya. Cinta yang mampu memaksa laki – laki bekerja keras demi keluarganya. Dan juga cinta yang dapat mendorong seseorang mengakhiri hidupnya.
Cinta yang kompleks. Berbelit – belit. Menyakitkan sekaligus memberi senyuman. Dan tetap menjadi topic favorit semua orang untuk dibicarakan. Termasuk saya.
Selama 21 tahun saya hidup, selama itu pula saya belajar mengenali objek ini. Kata cinta tak pernah mendapatkan deskripsi yang sempurna. Selalu berbeda dan berganti mengikuti waktu, gaya hidup, prinsip dan perilaku dasar sang pencetus teori. Tak seperti teori relativitas yang sejak pertama dicetuskan hingga kini masih tetap E=MC2. Tak juga seperti 1+1 yang akan terus menghasilkan 2. Dan sama sekali tak sama dengan prinsip komunikasi yang dalam prakteknya memerlukan communicator – message – receiver. Teori cinta selalu berubah. Kadang hanya melibatkan dua indivudu, kadang 3 atau dapat juga lebih. Hasilnya pun tak pernah sama, kadang tawa, senyum malu – malu, amarah, luka, depresi berkepanjangan bahkan sampai pada kematian. Sebenarnya, apa salah cinta? Mengapa ia sering dikatakan buta? Mengapa juga ia tak pernah hanya menghasilkan tawa namun harus terus diikuti oleh airmata??
Pablo Neruda pernah menulis cinta dalam salah satu puisinya:
“ aku mencintaimu, tanpa tahu bagaimana, sejak kapan, dan darimana.. aku mencintaimu dengan sederhana, tanpa kebimbangan, tanpa kesombongan.. aku mencintaimu seperti ini, karena bagiku, tak ada cara lain untuk mencintai..”
(Soneta XVIII)
benarkah cinta dapat datang begitu saja?? Hadir tiba – tiba tanpa kita tahu apa sebabnya..
jika benar begitu, mengapa ada cinta yang datang karena terbiasa, cinta yang hadir karena kenyamanan dan kelengkapan satu sama lain. Cinta yang terjadi karena selalu bersama. Dan yang marak terjadi saat ini, cinta karena ketergantungan materi. Atau, mungkinkah itu bukan cinta?
Saya sendiri belum benar – benar dapat menyimpulkan cinta. Belum saya dapatkan teori konkrit berdasarkan pengalaman (terlebih karena pengalaman saya memang tak banyak). Pacaran saya yang pertama terjadi bukan karena cinta, saat itu umur saya belum cukup untuk bicara cinta. Saya jalani hubungan itu dengan datar dan mulus. Tak ada tangisan, tak ada beban berat pada hati dan pikiran saya saat itu. Yang ada hanya tawa dan perasaan nyaman memiliki seseorang untuk berbagi dan bersama. Dan berhenti sampai itu saja. Hubungan itu berakhir bukan karena konflik melainkan karena kami tahu memang sudah saatnya untuk memisahkan diri. Tak ada tangisan. Tak ada mata sembab kurang tidur. Ataupun wajah kusut karena beban pikiran. Yang ada hanya sedikit perasaan kosong yang dengan mudah tertutupi oleh kehadiran teman – teman. Maka saat semua orang mengatakan bahwa pacar pertama adalah cinta pertama, saya tak setuju. Hubungan pendek itu tak layak menyandang predikat manis nan indah sebagai cinta pertama. Cinta itu (menurut saya) baru saya rasakan sekarang pada hubungan yang sudah 2 tahun ini saya jalani. Dan itu tidak instant, banyak airmata dan amarah yang meluap, banyak diskusi dan obrolan hingga pagi yang terjadi. Semua semata untuk menyatukan pikiran kami berdua. Berusaha menyamakan prinsip dan pandangan pada satu dan lain hal. Dan setengah mati berusaha memahami perbedaan yang sering sekali terjadi. Semua dilakukan demi menjaga cinta. Hal yang bagi kami tidak instant, melainkan melalui perjuangan keras. Itukah cinta sesungguhnya?? Belum bisa saya simpulkan.
Seorang sahabat secara konstan bercerita tentang cintanya, cinta yang ia rasakan pada seseorang yang tak tahu dan tak ingin ia beritahu. Menurutnya, percuma saja mengharap banyak dan berusaha apabila ia tahu cintanya berjalan sendiri, tanpa mendapat balasan. Baginya, ia tak mendapat balasan. Bagi saya, ia belum mendapatkannya. Bagaimana kita bisa mengharap seseorang membalas cinta kita apabila untuk menunjukkannya saja kita sudah enggan. Terhalang oleh gender, gengsi dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin ia tahu bahwa ia dicintai bila untuk membagi cinta saja sudah banyak teori dan pertimbangan kita lakukan. Bukankah cinta akan lebih bermakna saat ia dapat diberikan dan dihargai sebagaimana mestinya. Bukankah akan lebih menyenangkan bila kita dapat nikmati cinta itu tanpa harus pusing memikirkan konsekuensi dan pendapat orang lain.
Tapi itulah yang terjadi. Perbedaan deskripsi dan pandangan antara saya dan sahabat tentang cinta, membuat satu kata itu kemudian menjadi berbeda. Dan kini, pada pukul 2 dini hari, saat ia sedang setengah tertidur, saya malah sibuk menulis. Menulis tentang kegalauan hati saya. Kebimbangan pikiran dan rentetan pertanyaan yang mendesak untuk diluapkan. Semua demi cinta, demi mencari pemecahan bijaksana bagi permasalahan yang ia timbulkan, dan demi menjaga keharuman nama sang cinta.
Sekali lagi, saya tidak sedang jatuh cinta. Tidak juga sedang mencari dan kehilangan cinta. Saya hanya sedang ingin bicara cinta. Tak lebih dari itu.
May 4, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
tuahtanto.blogspot.com
kalo lagi ingin bicara cinta, jangan ditahan-tahan, ntar meledak.
saya tidak setuju seperti apa yang mbak lenny katakan.
menurut saya, apabila kita mencintai seseorang dan sangat mencintai orang itu dengan sangat ikhlas, tulus dan ingin sekali melihat orang itu bahagia dengan cintanya, meskipun pada akhirnya kita akan rela melepaskan orang itu dengan cintanya yang tidak untuk kita tanpa berharap orang yang kita itu membalas cinta kita.
kita akan senang melihat orang yang kita cintai akan hidup bahagia sekalipun tidak dengan kita yang mencintainya dengan setulus hati.
semoga kamu bahagia dengan cintamu yang sekarang ya.
Post a Comment